Sabtu, 18 November 2017

Bilal Bin Rabah

Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah putri beliau Fathimah radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya: ”Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya:” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.

Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata: ”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku: ”Wahai Fathimah, aku akan meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati tangisanku beliau kembali berkata kepadaku:” Engkau wahai Fathimah, adalah keluargaku yg pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.

Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda:” Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda:” Mendekatlah kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata:” Beliau mengangkat tangan beliau seraya bersabda:” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.

Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata:” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya:” Izinkan untuknya wahai Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata:” Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu :para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang sebaik-baiknya.”

‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a:

“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb yang ridha dan tidak murka.”

Sayyidah ‘Aisyah berkata:”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata:”Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.” Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata:” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yg paling tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata:”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”

Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata:” Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”

Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.

Waktu shalat telah tiba.

Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.

“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”

Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.

“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.

“Asy…ha..du. .annna…”

Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.

Tubuhnya mulai limbung.

Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.

Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.

Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya”.

Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.

Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung.

Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”

Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.

Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.

Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.

“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..

Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.

Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”

“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”

Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.

“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.

“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”

Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?

“La ilaha illallah…”

Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.

Selasa, 14 November 2017

MSI (PENDEKATAN DALAM STUDI AGAMA)

PENDEKATAN DALAM STUDI AGAMA

Di susun oleh :

Rusdiansyah
Rahmatullah
Rizky Maulana
Riyanto

PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
RASYIDIYAH KHALIDIYAH (RAKHA)
AMUNTAI
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Bismillahirrahmanirrahim, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat Rahmat, Taufik, Hidayah serta Inayah Nyalah, kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata Kuliah Metodologi studi islam (MSI)
Makalah yang kami susun ini berjudul “Pendekatam Dalam Studi Agama” yang diharapkan dapat memberi pengetahuan yang lebih luas. Makalah ini memuat tentang Pendekatan di Dalam Memahami Agama
Seperti kata peribahasa “tak ada gading yang tak retak”, begitu pula dalam melaksanakan tugas ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, sehingga dengan kerendahan hati, kami sangat memerlukan kritik dan saran yang sekiranya dapat membangun kami di masa depan.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih atas kepercayaannya memberikan tugas ini kepada kami, selamat membaca dan semoga memberi manfaat kepada kita semua.
Amien Ya Rabbal ‘Alamien.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis,

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dewasa ini agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama demikian itu dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normative dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran di atas, maka dalam makalah ini pembaca akan diajak untuk mengkaji pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa  mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.

Rumusan Masalah
Apa pengertian pendekatan-pendekatan tersebut?
Apa saja pendekatan dalam memahami agama?

Tujuan
Mengerti makna pendekatan-pendekatan dalam memahami agama
Mengetahui macam-macam pendekatan dalam memahami agama

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Pendekatan dalam Memahami Agama
          Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang se¬lanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.

Pendekatan-Pendekatan di Dalam Memahami Agama
Dalam memahami ataupun mempelajari agama diperlukan beberapa cara atau pendekatan. Beberapa pendekatan terkait studi dalam memahami agama, antara lain :

Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normative dalam harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak Tuhan dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu. Pendekatan teologi dalam studi agama disebut juga pendekatan normative dalam studi agama bertujuan untuk mencari kebenaran dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman atau pemikiran keagamaan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara normative.
Dalam pendekatan teologi ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan. Tidak ada sedikitpun kekurangan dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normative pasti benar. Menjunjung nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai kemanusian, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kejujuran dan saling menguntungkan yang diketahui sama lain. Untuk bidang pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Cara-cara disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaannya yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Dimana menurut Karl Marx (1818-1883) agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status peran tokoh-tokoh agama yang mendukung system kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920), dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Melalui pendekatan antropologi ini, dapat dilihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan, sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam, misalnya kita memperoleh tentang kapal nabi Nuh di gunung Arafat, kisah ashabul kahfi yang bisa bertahan hidup tiga ratus tahun dalam goa. Dimana bangkai kapal itu, dan dimana keberadaan goa itu sekarang. Itu hal yang menakjubkan, ataukah itu hanya hal fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.

Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang mengusai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya. Keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama manusia.
Dari dua definisi tersebut dilihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan stuktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling bersangkutan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa menjadi penguasa Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, itu salah satu contohnya. Peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit untuk pula dipahami maksudnya. Disinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi ini dalam memahami agama, ini mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial alat untuk memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam alternatif, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan menggunakan lima alasan sebagai berikut :
Pertama, dalam Al Quran atau kitab hadits, proporsi terbesar kedua sebagai sumber hukum Islam berkenaan dengan urusan muamalah.
Kedua, bahwa ditekankan masalah muamalah dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung bagi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam istilah terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat diartikan pula mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ’’adanya’’ sesuatu.
Pengertian falsafah yang umumya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurut filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya. Filsafat mencari sesuatu mendasar, asas, inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.
           Berpikir secara filosofis selajutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti ajaran agama dapat dimengerti secara saksama. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spritual yang dapat menimbulkan kesopanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap penghayatan dan daya spritualitas yang dimiliki seseorang. Melalui filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamatan agama yang bersifat formalistik, yakni dengan mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.

Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak menukik alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat kesejangan atau keselarasan antara yang terdapat alam idealis dengan yang ada di alam empiris atau historis.
Pendekatan sejarah ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian, yang pertama, berisi konsep-konsep dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam analisis ilmu pendidikan Islam dilihat dari latar belakang historis, yang berarti menempatkan sasaran analisis pada fakta-fakta sejarah umat Islam yang berawal dari Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasulullah Saw, sejak pengangkatan Muhammad SAW menjadi utusan Allah, tahap awal dari proses pendidikan Islam dimulai yaitu tahun ke 13 hijrah ke Madinah, pada waktu nabi berusia 40 tahun.
Selain itu, dengan pendekatan historis ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan tersesat dalam memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seperti seseorang yang memahami agama Al-Qur’an secara benar mengenai kejadian yang mengiringi turunnya Al-Qur’an.

Pendekatan Kebudayaan
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal budi) dan sebagainya untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sultan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di dalam masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran, kita misalnya membaca kitab fiqh, maka fiqh yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah. Demikian agama yang dalam bentuknya itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang dapat mengamalkan ajaran agama. Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsur agama ikut dalam pengalaman agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.

Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang yang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Dengan ilmu ini, jiwa seseorang akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Psikolog agama sebagai cabang dari psikologi menyelidiki agama sebagai gejala kejiwaan. Penyelidikan agama sebagai gejala kejiwaan memiliki peran penting mengingat persoalan agama yang paling mendasar adalah persoalan kejiwaan. Manusia meyakini dan mati berserah diri kepada Tuhan. Melakukan upacara keagamaan, berdo’a, rela berkorban dan rela hidupnya dikendalikan oleh norma-norma agama adalah persoalan kejiwaan. Agama dan psikolog memiliki tujuan yang sama, yaitu agar manusia sehat dan cerdas.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari apa yang penulis paparkan di dalam makalah, seluruh uraian di atas mengenai pendekatan-pendekatan dalam memahami agama, tidak hanya cukup dengan membaca ataupun mendengar suatu peristiwa yang kontemporer dari orang lain. Melainkan dengan berupaya untuk berusaha mencari ilmu dan sumbernya telah terbukti kebenarannya. Yaitu dengan melakukan beberapa pendekatan yaitu : pendekatan teologis normative, pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan filosofis, pendekatan historis, pendekatan kebudayaan dan pendekatan psikologi.




DAFTAR PUSTAKA

Atang Abd. Hakim. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Nata Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

MSI (METODOLOGI STUDI FIQIH)

METODOLOGI STUDI FIQIH

Disusun oleh :

1.Ahsanul Fikri
2.Ahmad Yani Adha
3.Doni Damara
4.Muhammad Arifin

SEKOLAH TINGGI AGAMA
RASYIDIYAH KHALIDIYAH AMUNTAI
TAHUN AKADEMIK 2017

BAB I
PEMBAHASAN
A.Pengertian Fiqih
Fiqih menurut bahasa adalah tahu atau faham, sedangkan menurut istilah, fiqih berarti syariat. Fiqih adalah pemahaman manusia terhadap syari’ah yang memiliki perbedaan
pemahaman. Sedangkan pengertian syari’ah adalah segala araturan yang telah Allah tentukandi dalam Al-Qur’an dan Hadist, yang manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya. Hukum islam atau fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusiayang di ambil nash Al-Qur’an dan Sunnah. Terdapat perbedaan antara hukum islam atau fiqihdengan syari’ah. Perbedaan tersebut terdapat pada dalil atau dasar yang di gunakan. Jika syari’ahdi dasarkan pada nash Al-Qur;an dan Sunnah sedangkan hukum islam di bangun berdsarkanijtihad para ulama. Ada beberapa pendapat mengenai fiqih, di antaranya adalah sebagai berikut:
 Fiqih emenurut bahas artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentangsesuatu biasanya tentang ilmu agama (islam) karena kemualiannya. Dan menurutistilah ,fiqih mempunyai dua pengertian;
1)pengetahuan mengatahui hukum-hukum syara,tentang pebuatan beserta dalil-dalilnya. 2) kumpulan (kodifikasi)hukum-hukum perbuatan yang di syariatkan dalam islam.
Fikih secara bahasa artinya pemahaman mendalam yang membutuhkan adanya
pengarahan potensi akal. Sedangkan menurut istilah fiqih adalah ilmu yangmenjelaskan hukum-hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan (praktis) yangdi gali melalui dalil-dalil yang terperinci Dan banyak lagi pendapat-pendapat yang lain tentang pengertian fiqih seperti pendapatWahbah al-Zuhaili, Dalam Suyatno dan yang lainnya. Pemahaman terhadap fiqih inimemunculkan beberapa mazhab fiqih.
Ada 4 mazhab besar yang di kenal dalam islam yangsampai sekarang masih otentik digunakan oleh umat Islam,yaitu :
1. Mazhab Hanafi
Tokoh penting dalam mazhab ini adalah Abu Hanifah (79-148H/699-
767M),seorang ahli fiqih yang hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah.
 2. MazhabMaliki
Tokohnya adalah Anas ibn Malik atau biasa di sebut Imam Malik.Mazhab iniberkembang di HIjaz. Imam Malik sangat memperhatikan tradisi Nabi danSahabatnya. Beliau mendasari fiqihnya secara berurutan yaitu
kitabullah, sunnah ucapan dan amalan sahabat, ijma’, amalan ahli madinah.
 3. Mazhab Syafi’i
Tokohnya adalah Muhammad ibn Idris al Syafi’I atau di kenal dengan Imam
Syafi’I yang merupakan murid dari imam Malik. Beliau dalam bidang fiqih samahalnya dengan Asy’ari dalam bidang kalam, yaitu menetapkan suatu kesimpulansetelah melakukan perbandingan-perbandingan antara pendapat-pendapat yangberkembang dan mengumpulkan antar keduanya dengan memelihara prinsipwasataniyah (keseimbangan) dan takamullah (kesempurnaan)
4. Mazhab Hambali
Tokohnya adalah Ahmad ibn Hambal sebagai penerus dan pengembang fiih
Imam al-Syafi’i. Aliran fiqih Imam Hambali memiliki cirri sangat kuatmenekankan pentingnya hadis yang di pilih secar seksama. Akan tetapi beliaumenolak qiyas. Aliran beliau cenderung mengutamakan hadis meskipun lemah dari pada analogi meskipun kuat.

B.Karakteristik Hukum Islam (Fiqih)
Adapun karateristik fiqih adalah sebagai berikut :
a. Sempurna
Hukum itu akan selalu sesuai dengan situasi dan kondisi manusia dimanapun dan
kapanpun, baim sendiri atau maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat IslamDiturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya
saja. Sehingga hukum-hukum itu bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selaluberubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh Al-Qur’an tersebut di maksudkanuntuk memberikan kebibasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuaidengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.
b. Harakah
Atau bisa di sebut elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku. Hukum islam bersifat dinamis
berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan
tempat. Elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia.Tidak kaku berarti bahwa hukum islam tidak memkasa melainkan hanya memberikan kaidah dan
patokan dasar secara umum dan global.
c. Universal
Hukum Islam meliputi alam tanpa batas wilayah, suku, ras, bangsa danbahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum islam yang tidak hanya terpakupada satu masa saja,tetapi unntuk semua zaman hukum Islam meghimpun segala sudutdari segi yang berbeda-beda dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok denganmasyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern, sepertinya halnya hukum Islamdapat melayani para ahl ro’yi dan ahl hadis.
d. Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain saling betautan, bertalian dan berhubungan secara lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat Al-Qur’anyang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain.
e. Berangsur-berangsur (tadrij)
Hukum islam atau fiqih di bentuk secara tadrij dan di dasarkan pad Al-Qur’an yang di
turunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusiauntuk melakukan pembaharuan karena hidup manusia selalu mengaalami
perubahan. Pembaharuan yang di maksud adalah memperbaharui pemahaman keagamaansecra sestematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang.
f. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum islam dapat di bedakan dalam dua bentuk ibadah yang fungsi utamanya adalah
mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT, yakni beriman kepada-Nya. Hal yangdapat difahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah SWT, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagugkan-Nya. Yang kedua muamalah yangdi dalamnya bersifat ta’aquli.Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat di
fahma nalar (ma’qul al ma’na) atau rasional. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli
apat di rasionalkan dengan melihat adanya maslahat dan mudarat yang terkandung di
dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada mudaratnya dan sesuatu yang diperintah
karena ada maslahatnya

C.Model-model Penelitian Kajian Hukum Islam (fiqih)
a. Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filasafat, Harun Nasutiun juga punya
perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam fiqih beliau tuangkan dalam buku yang
berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Penelitiannya ringkas tapi dalam
terhadap hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah. Selanjutnya, melalui
pendekatan sejarah beliau membagi perkembangan fiqih dengan empat preode,yaitupreode Nabi, preode Sahabat, preode Ijtihad dan preode Penelitian Eksploratif, Deskiftifdengan menggunakan pendekatan sejarah.
b. Model Noel J.Couslon
Noel J. Couslon menyelesaikan hasil penelitiannya dalam bidang fiqih dalam karyanyayang berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitian yang bersifat deskriptifanalitis ini menggunakan penelitian sejarah. Pada bagian pendahuluan,beliau mengatakanbahwa problema yang mendasar saat ini adalah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang di nyatakan secara kaku pada satu pihak dan
ketentuan-ketentuan masyarakat modern pada pihak lain.
c. Model Mohammad Atho Mudzhar
Tujuang yang dilakukan adalah mengetahui materi fatwa yang di kemukakan Mejlis
Ulama Indonesia(MUI) serta latar belakang social politik yang melatar belakangi
timbulnya fatwa tersebut.Hasil penelitiannya dituangkan dalam empat bab (Ahmad
Normata Permata, 2009:293).

SIMPULAN
Banyak pendapat tentang arti dai fiqih diantaranya fiqih menurut bahasa adalah tahuatau faham, sedangkan menurut istilah, fiqih berarti syariat. Fiqih adalah pemahaman manusiaterhadap syari’ah yang memiliki perbedaan pemahaman. Sedangkan pengertian syari’ah adalahsegala araturan yang telah Allah tentukan di dalam Al-Qur’an dan Hadist, yang manusia tidakmemiliki hak untuk merubahnya. Hukum islam atau fiqih adalah ilmu yang berkaitan denganamal perbuatan manusia yang di ambil nash Al-Qur’an dan Sunnah.Ada 4 mazhab besar yang di kenal dalam islam yang sampai sekarang masih otentikdigunakan oleh umat Islam, yaitu: Mazhab Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Adapunkarateristik fiqih adalah sebagai berikut yaitu: sempurna, harakah, dan universal.Adapun model-model Penelitian Kajian Hukum Islam (fiqih) yaitu, Model Harun
Nasution, Noel J.Couslon dan Mohammad Atho Mudzhar.

DAFTAR PUSTAKA
Kodir,Koko Abdul.Metodologi Studi Islam,Pustaka Setia,Bandung:2014. Hal 153-156
Khoiriyah ,Memahami Metodologi Islam,Teras,Yogyakarta:2013 hal 130-189
www.lifeskillppdnsmg.blogspot.com 13 juni 2013

MSI (METODOLOGI STUDI TASAWUF)


METODOLOGI STUDI TASAWUF

Disusun Oleh Kelompok 11 :
Hidayat
Fajar Asshidiqi



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
RASYIDIYAH  KHALIDIYAH
TAHUN 2017

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Tasawuf mulai mendapat perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah-masalah keduniawiaan. Manusia cenderung melakukan sesuatu atas dasarkebebasan. Sehingga ia semena-mena dan acuh tak acuh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini. Tasawuf secara intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Tasawuf merupakan aliran dalam islam yang lebih mengutamakan soal-soal keperibadatan dalam rangka mendekatkan diri pada tuhan. Menurut ajaran tasawuf manusia hidup di dunia ini hanyalah untuk melaksanakan peribadatan pada Allah dan berusaha mendekatkan diri padanya. Kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan pada hakikatnya sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang membutuhkan ketenangan dan kebahagiaa, baik jasmani maupun rohani.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dengan Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada dihadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk Ijtihad (bersatu) dengan Tuhan.

Untuk mengakaji lebih dalam lagi tentang metodelogi, tujuan dan manfaat dalam ilmu tasawuf. Maka disusunlah makalah yang berjudul metode, tujuan dan manfaat dalam studi tasawuf.

1.2 Rumusan Masalah
Apa pengertian Tasawuf ?
Bagaimana model penelitian Tasawuf ?
Apa saja manfaat mempelajari Tasawuf?
Apa tujuan Tasawuf?
1.3 Tujuan
Mengetahui apa pengertian Tasawuf.
Mengetahui model penelitian Tasawuf.
Mengetahui apa manfaat Tasawuf.
Mengetahui apa tujuan Tasawuf.










BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Tasawuf
Dari kebahasaan (linguistic) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu
Al-Suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah.
Saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah.
Sufi, yaitu bersih dan suci.
Sophos, (bahasa yunani: hukmah)
Suf, ( kain wol kasar) 
Jika diperhatikan dengan saksama, Nampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan dan kedekatan dengan tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah, mereka rela meninggalkan kampung halamannya, rumah,kekayaan,harta benda, dan sebagainya yang ada di mekkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah bersama nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak mungkin hal demikian mereka lakukan. Selanjutnya, kata saf juga menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya. Demikian pula kata sufi yang artinya bersih, suci, dan murni menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-nya, selanjutnya kata suf yang berarti kain wol kasar menggambarkan orang yang hidupnya sederhana, tidak mengutamakan kepentingan dunia, tidak mau diperbudak oleh harta yang dapat menjerumuskan dirinya dan membawa ia lupa akan tujuan hidupnya yakni beribadah kepada Allah, demikian pula kata Sophos yang berarti kata hikmah juga menggambarkan keadaan orang yang jiwanya senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dengan demikian, dari segi kebahasaan, tasawuf menggambarkan keadaan yang berorientasi pada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah SWT, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia di sisi Allah SWT. Sedangkan mistisme adalah islam yang diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pemberian aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak yang mulia. Dalam tasawuf seseorang dibina secara intensif tentang cara-cara merasakan kehadiran tuhan dalam dirinya. 
Pendapat lain menyatakan bahwa tasawuf berasal dari bahasa yunani kuno yang telah di arabkan, theo-shafie artinya ilmu ketuhanan, kemudian diarabkan dan diucapkan dengan lidah orang arab sehingga berubah menjadi tasawuf. Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan. Tasawuf atau mistisme adalah jalan bagi seorang muslim agar dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sedangkan menurut syekh Muhammad Amien al-Khusry, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa.
Tasawuf mengupas tata cara menyucikan hati, mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan kehadirat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Tasawuf sekarang menjadi kebutuhan orang modern untuk memenuhi salah satu kebutuhannya yang hilang yaitu spritualisme, dan tasawuf merupakan ajaran tentang kehidupan rohani dalam islam. Tasawuf sebagai ajaran tentang kehidupan rohani itu timbul dalam sejarah, yang diawali dengan timbulnya para zahid.
Model Penelitian Tasawuf
Sejalan dengan fungsi dan peran tasawuf yang demikian itu, maka dikalangan para ahli telah timbul upaya untuk melakukan penelitian Tasawuf. Berbagai bentuk penelitian tasawuf secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan muslim kenamaan di abad modern yang amat produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah. Perhatiannya terhadap perkembangan studi islam demikian besar, termasuk kedalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya yang berjudul Tasawuf dulu dan sekarang yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta tahun 1985. Di dalam buku tersebut disajikan hasil penelitiannya di bidang Tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik. Yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Diantaranya uraian tentang fungsi tasawuf , yaitu tasawuf dan pengutuhan manusia. Didalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Selanjutnya dikemukakan pula tentang tingkatan-tingkatan kerohanian dalam tasawuf, manusia di alam kelanggengan ditengah perubahan yang Nampak. Setelaah itu dikemukakan pula perkembangan tasawuf yang terjadi pada abad ketujuh dan mazhab ibn arabi, serta islam dan pertemuan agama-agama. Selanjutnya dikemukakan tentang problema lingkungan dalam cahaya tasawuf, penaklukan alam dan ajaran islam tentang pengetahuan timur. Dari uraian tersebut terlihat bahwa model penelitian tasawuf yang diajukan Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
Model Mustafa Zahri
Mustafa Zahri memusatkan perhatiannya pada tasawuf  dengan menulis buku yang berjudul kunci memahami ilmu tasawuf  diterbitkan oleh bina ilmu, Surabaya, tahun 1995. Penelitiannya yang dilakukannya bersifat eksploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literature ilmu tasawuf. Dalam buku yang berjumlah 26 bab tersebut, disajikan tentang kerohaniannya yang didalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi Muhammad saw, kunci mengenal tuhan, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menentramkan batin, tarekat dari segi arti dan tujuannya. Selanjutnya dikemukakan tentang membuka tabir (hijab) yang membatasi diri dengan tuhan, zikrullah, istighfar dan bertaubat, doa, waliyullah, keramat, mengenal diri sebagai cara untuk mengenal tuhan, makna laila illa allah, hakikat pengertian tasawuf, catatan sejarah perkembangan tasawuf dan ajaran tentang ma’rifat.
Penelitian yang dilakukannya bersifat eksploratif, yaitu menggali ajaran tasawuf dari berbagai literature ilmu tasawuf. Penelitian tersebut menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literature yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada Al-Qur’an.

Model Kautsar Azhari Noor
Kautsar Azhari Noor selaku dosen pada Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam rangka penulisan disertasinya memusatkan perhatian pada penelitian di bidang tasawuf. Judul penelitiannya adalah Ibn Arabi: Wahdat al-Wujud dalam perdebatan, dan telah diterbitkan oleh paramadina, Jakarta, tahun 1995. Dengan judul tersebut, terlihat bahwa penelitian yang ditempuh Kautsar adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas, yang dalam hal Ibn Arabi dengan pahamnya Wahdat al-wujud.
Penelitian ini cukup menarik, karena dilihat dari segi paham yang dibawakannya, yaitu Wahdat al-Wujud telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa paham reinkarnasi, atau paham serba tuhan, yakni tuhan menjelma dalam berbagai ciptaannya, sehingga dapat mengganggu keberadaan dzat tuhan. Wahdat al-Wujud yang berarti kesatuan wujud adalah lanjutan dari paham hulul. Ibn Arabi yang nama lengkapnya Muhy al-Din Ibn Arabi lahir di Murcia, spanyol pada tahun 1165 M.
Paham wahdat al-Wujud ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat dirinya diluar dirinya. Oleh karena itu dijadikannya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Dikala ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat tuhan. Tuhan melihat dirinya. Dari sini timbullah paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
Didalam tiap cermin ia lihat dirinya, dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu. Inilah yang menimbulkan perdebatan yang menghebohkan, karena dapat membawa paham seolah-olah paham ada dimana-mana, menyatu dengan benda-benda alam, padahal yang sesungguhnya bukanlah demikian. Tuhan tetap satu, yang banyak itu hanyalah sifat tuhan, bukan zatnya. Dengan demikian mereka yang mengira Ibn Arabi membawa banyak tuhan,tidaklah tepat, tuhandalam arti zatnya tetap satu, namun sifatnya banyak. Sifat tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya berbeda dengan sifat yang dimiliki manusia. Tuhan misalnya, maha mengetahui, dan pengetahuannya itu meliputi segala sesuatu dan tidak terbatas, sedangkan sifat manusia tidak mencakup segala hal, dan sifatnya amat terbatas.
Penelitian yang ditempuh Kautsar adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya WahdatAl-Wujud

Model Harun Nasution
Harun Nasution, guru besar dalam bidsng Teologi dan Filsafat Islam juga menaruh perhatian terhadap penelitiannya di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul filsafat dan mistisme dalam islam, yang diterbitkan dalam oleh bulan bintang, Jakarta, terbitan pertama tahun 1973.
Penelitian yang dilakukan Harun Nasution pada bidang tasawuf ini mengambil pendekatan tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada tuhan, zuhud dan station-station lain, al mahabbah, al-ma’rifah, al-fana’ dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pada setiap topic tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari tiap topik tersebut dengan data-data yang didasarkan pada literature kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya. Selain itu Harun Nasution mengemukakan latar belakang sejarah timbulnya paham tasawuf dalam islam.
Penelitian yang menggunakan pendekatan tematik tersebut terasa lebih menarik karena langsung menuju pada persoalan tasawuf. Dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana danya dengan mengemukakan dengan sedemikian rupa, walaupun hanya garis besarnya saja. Dengan penelitian seperti ini peneliti mengemukakan apa adanya dengan sedikit melakukan perbandingan antara satu ajaran dengan ajaran tasawuf lainnya, namun hal ini pun bukan ditujukan untuk mencari kelebihan dan kekurangan dari ajaran-ajaran tersebut, tetapi sekedar untuk memperjelas ajaran tersebut. Hal ini biasanya dilakukan dalam suatu penelitian deskriptif, karena tidak ada problema atau teori tertentu yang akan diuji kebenarannya.
Harun Nasution, guru besar dalam teologi dan filsafat islam juga menaruh perhatiannya terhadap penelitian dalam bidang tasawuf. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan tematik

Model A.J.Arberry
Arberry, salah seorang peneliti barat kenamaan banyak melakukan studi keislaman, termasuk penelitian dalam bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul pasang surut aliran tasawuf, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik, dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia coba kemukakan tentang firman tuhan, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli tasawuf, struktur teori tasawuf, struktur teori danamalan tasawuf, tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf.
Dari isi penelitian tersebut, Nampak bahwa Arberry menggunakan analisa kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentrasformasikan ajaran-ajaran tersebut kedalam makna kehidupan modern yang lebih luas. Jika penelitian-penelitian tersebut diatas bersifat penelitian deskriptif, maka sebelumnya telah terdapat penelitian pemula dalam bidang tasawuf, seperti yang dilakukan olehAbi al-Qasim Abd al-Karim Hawaran al-Qusyairy al-Naisabury dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘ilm al tasawuf, yang ditahkik oleh Ma’ruf Zarin dan Ali Abd al-Hamid Balthaji, diterbitkan oleh Dar al-Khair, tanpa tahun.
Dengan berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, al-Hadis dan pendapat para ulama al-Qusyairy dalam bukunya itu antara lain menyajikan asal-usul tauhidmenurut para kaum sufi, yaitu ma’rifatullah dan sifat-sifatnya,keimanan,rezki,kekufuran,al-arsy dan kebenaran Allah SWT. Berbagai istilah dalam tasawuf seperti al-waqt, al-maqam al-hal, al-qabd dan al-basth, al-haibah, al-uns,al-wujud,al-jam’u dan al farq, al-iana, al-baqa, al-ghibah, al-hudlur, al-mukasyafah, al-syariat wa al-hakikah, al-nafs, al-ruh dan al-sirr, penjelasan tentang maqamat, al-ahwal dan al-karamat, pengetahuan tasawuf.
Penelitian demikian dilakukan pula oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya ihya’Ulum al-Din jilid III. Didalam kitab tersebut antara lain dikemukakan tentang kitab keajaiban hati, kitab cara melatih dan mendidik jiwa, kitab cara mengendalikan syahwat, kitab sifat-sifat lalai pada manusia, kitab yang mencela perbuatan sifat pemarah, iri dan dengki, kitab yang mencela cinta pada dunia, kitab yang mencela pada perbuatan kikir dan mencintai harta, kitab yang mencela sikap gagah dan pamer, kitab yang mencela sifat sombong dan tinggi diri, serta kitab yang mencela perbuatan menipu. Kitab ini cukup dikenal di kalangan pesantren, dan telah mewarnai kehidupan para santri sedemikian rupa, sehingga akhlak para sanri pada umumnya menjadi baik, patuh dan tunduk kepada tuhan.
Penelitian yang digunakan adalah analisis kesejarahan, yaitu berbagai tema tersebut dipahaami berdasarkan konteks sejarah dan tidak dianalisis dalam konteks modern.
Manfaat Mempelajari Tasawuf
Manfaat mempelajari  tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.

Terdapat beberapa kegunaan dalam mempelajari ilmu tasawuf. Manfaatnya ialah sebagai berikut.
a.       Seseorang yang mempelajari ilmu kebatinan bisa membersihkan hatinya.
b.      Seseorang akan memiliki sikap nan baik dan berjiwa dermawan.
c.       Hati seseorang akan menjadi tenang dan damai.
d.      Dapat mengetahui alam yang gaib, yaitu alam yang tak dapat diketahui dengan mata telanjang dan hanya mata batin yang dapat melihatnya.
e.       Seseorang akan memilki sifat budi pekerti yang baik dengan sesama.
f.       Menguatkan kesucikan batin bermusyahadah dengan Allah.
g.      Penghubung antara ilmu tasawuf dengan aspek batin manusia seperti hubungan Fiqh dengan aspek lahiriyah manusia.
h.      Sebagai pembersih dan pensuci hati dan jiwa.
Ibn 'Ajibah juga berkata : "Hasil mempelajari tasawuf adalah untuk melepaskan diri daripada runtunan hawa nafsu, memelihara hati daripada sifat keji dan berakhlak dengan akhlak yang mulia.
Tujuan Mempelajari Tasawuf
Tasawuf adalah tuntunan manusia untuk mengenal Tuhan atau ma’rifat billah dan melalui tasawuf ini pula manusia dapat melangkah sesuai dengan dengan tuntunan yang paling baik dan benar dengan yang indah dan akidah yang kuat. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang mutashawwifin tidak ada tujuan lain dalam bertaqarub kepada Allah melalui thariqah atau dalam jalan tasawuf ini kecuali hanyalah bertujuan untuk mencapai “ma’rifah billah” (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya dinding yang membatasi diri dengan Allah. Bagi orang-orang mutashawwifi dalam mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah.
Secara garis besar tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas. Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun taswuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan.
Adapun yang dimaksud dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah dalam pandangan tasawuf adalah sebagai berikut:
1)      Ma’rifah billah
Ma’rifah  billah adalah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tapi tidak kaifiat. Sayyid Abi Bakar al-Makki menjelaskan bahwa ma’rifah  kepada Allah merupakan suatu cahaya yang telah dipancarkan Allah di hati hamba-Nya, sehingga dengan cahaya tersebut hamba Allah tadi bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan Allah di bumi dan di langit, mengamati sifat kekuasaan dan kekuatan Tuhan.
Istilah lain sebagai ganti kata ma’rifah adalah ru’yah, musyahadah dan liqa’. Ru’yah ini bisa diperoleh sesudah kassaf yaitu sesudah terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara abd (hamba) dengan Khaliq (pencipta).
Inti dari ma’rifah adalah pemberian Tuhan pada hati yang bersih dan dapat menghilangkan tabir yang memisahkan antara makhluk dan Khalik.  Ma’rifah billah tetap bisa dicapai oleh seseorang bila sudah menjalanka syari’at dan membersihkan jiwanya dari segala maksiat. Bagi para mutashawwifin, ma’rifah billah ini adalah tujuan utama dan merupakan kenikmatan yang paling tinggi. Seperti yang telah dikatakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa “kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan ke-Tuhan-an dan melihat rahasia-rahasia ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan puncak dari kelezatan yang ada pada makhluk”.
Ma’rifah billah selain merupakan kenikmatan yang besar bagi kaum mutashawwifin juga menyebabkan adanya sifat malu dan mengagungkan Tuhan sebagaimana Tauhid yang menyebabkan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ma’rifah billah dicapai dengan adanya cahaya yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan maksiat dan tidak dicapai oleh panca indra.
2)      Insan Kamil
Tujuan tasawuf berikutnya ialah  tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan (insan kamil). Manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya akan memiliki sifat-sifat utama. Insan kamil dalam pandangan para mutashawwifin artinya sangat beragam. Diantaranya Iqbal dan Al Ghazali berpendapat sama bahwa al-kamil yaitu manusia yang telah memperoleh maqam yang terdekat di sisi Allah. Namun keduanya berbeda dalam tekanan akhlak.
Menurut Iqbal derajat insan kamil dapat dicapai dengan menumbuhkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia. Maka semakin sempurna mewujudkan sifat-sifat Allah pada dirinya, semakin membaik pribadinya dan makin kuat himmahnya. Sedangkan menurut al-Ghazali tekanannya pada harapan yang penuh untuk memperoleh rahmat Allah dengan dapat mencapai ma’rifah billah melalui latihan bertingkat yang disebut muraqabah dan muhasabah setelah menyingkirkan hal-hal yang membinasakan dan menjalankan hal-hal yang menyelamatkan. Dengan kata lain, mencapai ma’rifah billah lewat pensucian diri dari segala dosa dan menekunkan diri dengan ibadah. Jadi dapat disimpulkan bahwa insan kamil adalah manusia yang berjiwa sempurna yang dekat dengan Allah, ia sudah dianggap layak untuk memberi petunjuk dan menyempurnakan hamba Allah.
Tujuan tasawuf yang terpenting adalah agar berada sedekat mungkin dengan al-Haqq. Namun apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terdapat 3 sasaran tujuan tasawuf, yaitu:
1)      Tasawuf menekankan pembinaan aspek moralitas yang tinggi sebagaimana yang dikehendaki oleh Rasul. Sebagai contoh sebagaimana seseorang ketika mendapatkan musibah dia bisa sabar dan bahkan dia bisa bersyukur terhadap musibah yang menimpanya., karena yang diterimanya adalah musibah yang kecil bukan musibah besar.
2)      Tasawuf ‘irfani yakni tasawuf yang bertujuan agar bisa ma’rifat kepada Allah melalui penyingkapan langsung yang sering disebut kasf al-hijab. Sebagai contoh, seorang yang sholat supaya bisa liqa’ ila Allah, dia harus bisa khusyu’ melalui mujahadah dan akhirnya bisa musyahadah ila Allah dengan penglihatan spiritual.
3)      Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada al-Haqq secara mistis filosofi, pengkajian garis hubungan antara hamba dengan al-Haqq dan makna hubungan itu. Sebagai contoh tentang hamba bisa menyatu  dengan al-Haqq apabila dia sudah menghilangkan sifat kemanusiaan dan muncul sifat ketuhanan.
Makna dekat dengan Allah dapat diketahui melalui tiga simbolis yakni dekat dalam arti melihat al-Haqq dan merasakan kehadiran-Nya dalam hati, dekat denga al-Haqq sehingga terjadi penyatuan antara keduanya dalam iradat-Nya. Dalam uraian singkat tentang tujuan tasawuf terdapat keragaman dalam tujuan tasawuf, yaitu:
  Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak al-Haqq karena Allah-lah penggerak utama dari semua kejadian alam ini.
  Pelepasan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi.
  Peniadaan kesadaran diri serta pemusatan diri pada perenungan terhadap al-Haqq semata, tiada yang dicari melainkan Allah.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tasawuf menggambarkan keadaan yang berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan-panggilan Allah SWT.  Berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia disisi Allah SWT. Dan Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pemberian aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak yang lebih mulia.
Model penelitian yang diajukan oleh Sayyed Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik, yang berdasarkan studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
Model penelitian yang diajukan oleh Mustafa Zahri adalah penelitian yang dilakukannya bersifat eksploratif, yaitu menggali ajaran tasawuf dari berbagai literature ilmu tasawuf.
Model penelitian yang diajukan oleh Kautsar Azhari Noor adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas, ibn arabi dengan pahamnya Wadat Al-Wujud.
Model penelitian yang diajukan oleh Harun Nasution adalah pendekatan tematik.
Model penelitian yang diajukan oleh AJ.Arberry adalah Analisis kesejarahan, yaitu berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarah dan tidak dianalisis dalam konteks kehidupan modern.
Manfaat mempelajari  tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
Secara garis besar tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas. Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun taswuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan.














DAFTAR PUSTAKA
Khoiriyah. Memahami Studi Islam. Yogyakarta : Teras. 2013
Kodir, Koko Abdul. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2014
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 1999
Abuddin,Nata. (1998). Metodologi Studi Islam. Jakarta:Rajawali press.
Hakim Atang dan Mubarak Abd. Jaih. (2000). Metodologi Stadi Islam. Bandung:  PT. Remaja Rosdakarya.
Moh.Toriquddin. (2008). Sekularitas Tasawuf . Malang: UIN-Malang Press.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Siregar, A. Rifa’i. (2002). Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Raja Grafindo Pesada.
Tamrin, Dahlan. (2010). Tasawuf Irfani. Malang: Uin Maliki Press.
Zahri, Mustafa. (1995). Kunci dalam Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu.
http;//Brangkas Usaha  Model-Model Penelitian Tasawwuf.html http://abiturohmansyah.blogspot.com




MSI (METODOLOGI STUDI FILSAFAT ISLAM)

METOLODOGI STUDI FILSAFAT ISLAM

Di susun oleh:
Jainudin
Karni
Khalilurrahman
Lukman Hakim

Jurusan: PENDIDIKAN AGAMA ISLAN
Semester: I (Satu)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
RASYIDIYAH SKHALIDIYAH AMUNTAI 
TAHUN AKADEMIK 2017/2018


BAB I
PENDAHULUAN
            Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan  pro dan kontra. Sebagian mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan mereka yang bersifat tradisional berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Hadist secara tekstual, sehingga mereka menolak pemikiran filsafat Islam.
            Dengan mengkaji metodologi penelitian  filsafat yang dilakukan para ahli, maka kita dapat meraih kembali kejayaan Islam dibidang ilmu pengetahuan yang pernah dialami pada zaman klasik. Hal ini sangat penting untuk menghadapi tantangan zaman era globalisasi yang semakin berat.
Islam adalah sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, Islam meyakini agama-agama terdahulu, bahkan keberadaan agama Kristen dan agama Yahudi dibahas dalam kitab suci agama Islam, Islam menolak penuhanan apapun selain daripada Allah. Bahkan Muhammad saw sekalipun menolak penuhanan atas dirinya, sebagai agama terakhir di muka bumi maka Nabi Muhammad saw dianggap sebagai Nabi yang terakhir pula. Itulah sebabnya apabila ada orang yang mengaku menjadi nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad saw maka akan segera dikafirkan.
Secara etimologi dalam Bahasa Arab, kata Islam berasal dari kataaslama yang berarti berserah diri, maksudnya menyerahkan diri kepada Allah. Namun kemudian berserah diri tersebut dalam Al-Qur’an harus diseimbangkan dengan perjuangan secara optimal.


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Filsafat Islam
Kata Arab ”falsafah” dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, ”philosophia”, yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata ”falsafah” itu di Indonesia-kan menjadi ”filsafat” atau, akhir-akhir ini, juga ”filosofi” (karena adanya pengaruh ucapan Inggris, ”philosophy”. Dalam ungkapan Arabnya yang lebih ”asli”, cabang ilmu tradisional Islam ini disebut ’’ulum al-hikmah atau secara singkat ”al-hikmah” (padanan kata Yunani ”Sophia”), yang artinya ialah ”kebijaksanaan” atau, lebih tepat lagi, ”kawicaksanaan” (Jawa) atau ”wisdom” (Inggris). Maka ”failasuf” (ambilan dari kata Yunani ”philosophos”, pelaku filsafat), disebut juga ”al-hakim” (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak ”al-hukama”.
Dari sepintas riwayat kata ”falsafah” itu kiranya menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani. Di sinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah: sampai dimana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan ”ahl al-kitab” seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuno yang ”pagan” atau musyrik (penyembah bintang). Sesungguhnya beberapa ’ulama’ ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din alSuyuthi (salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah. 
Menurut Musa Asy’ari Filsafat Islam adalah adalah proses dialektika antara pemikiran filsafat Islam dengan perkembangan jaman secara terus menerus. Filsafat Islam adalah kegiatan pemikiran yang bercorak islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu corak pemikiran. Menurut Amin Abdullah filsafat Islam adalah rumusan pemikiran muslim yang ditempeli oleh konsep filsafat Yunani melalui proses panjang asimilasi dan akulturasi budaya. Sedangkan menurut Darmajati Supadjar filsafat Islam adalah filsafat tentang Islam. Jadi Islam yang menjadi objek penelaahan.
B.Ciri Ciri Filsafat Islam
Ciri ciri filsafat islam ada 5 yaitu:
1.  Dilihat dari sifat dan coraknya filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumber lima ciri filsafat Islam yaitu:
dari al-Qur’an dan Sunnah.
2.  Dilihat dari segi ruang lingkupnya meliputi kosmologi, metafisika, kehidupan di dunia, kehidupan di akherat.
3.  Dari segi datangnya, filsafat Islam datang sesuai dengan perkembangan Islam itu sendiri yang memerlukan penjelasan rasional dan filosofis
4.  Filsafat Islam disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam
5.  Dari segi kedudukannya sejajar dengan bidang keilmuan lain seperti fikih, ilmu kalam,
Filsafat Islam adalah pekembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Adapun definisinya secara khusus seperti apa yang dikemukakan penulis Islam sebagai berikut:
1.  Ibrahim Madkur, filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
2.  Ahmad Fu’ad Al-Ahwaniy, filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
3.  Muhammad ’Athif Al-’Iraqy,filsafat Islam secara umum didalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok - pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof muslim.


C.Perkembangan Filsafat
Awal mula pertumbuhan tradisi pemikiran filsafat di  dalam khazanah intelektual islam secara historis dilatarbelakangi oleh adanya interaksi, asimilasi dan akulturasi dua kebudayaan besar yang satu berasal dari tradisi semitik, dan yang lain dari tradisi hellenistik.Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah utara jazirah arabia, yaitu bangsa-bangsa Syiria,Mesir, dan Persia.
Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah nabi SAW wafat, di bawah para khalifah.Daerah-daerah yang segera di bebaskan oleh orang-orang muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama Hellenisasi. Lebih dari itu,kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu mengalami Kristenisasi. Bahkan sebenarnya daerah-daerah islam sampai sekarang ini, sejak dari Iraq di timur sampai ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas daerah agama Kristen, termasuk heartland-nya, yaitu Palestina. Daerah-daerah itu, di bawah kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai. Bahkan daerah-daerah Kristen itu tidak hanya mengalami proses Islamisasi, tetapi juga Arabisasi, di samping adanya daerah-daerah yang memang sejak jauh sebelum Islam secara asli merupakan daerah suku Arab tertentu seperti Lebanon(keturunan suku Ghassan yang Kristen).
Filsafat islam telah berkembang melalui beberapa fase. fase pertama adalah fase penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Fase kedua adalah penerjemahan secara sistematis buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan berkembangan dengan pesat pada zaman al ma’mun. Pada fase ketiga muncullah filosof-filosof besar seperti Al-Kindi,Al-Farabi,Al-Ghajali,Ibn Maskawih,Ibn Majjah,Ibn Thufail,Ibn Ruysd. 


D.Metode Studi Filsafat Islam
Metode dan Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam Jika disepakati bahwa Studi Islam(Islamic Studies)menjadi disiplinilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antarakenyataan, pengetahuan, dan ilmu.Setidaknya ada dua kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati(agreed reality),yaitu segala sesuatu yang dianggap nyata karena kita bersepakat menetapkannya sebagai kenyataan; kenyataan yang dialami orang lain dan kita akui sebagai kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi menjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.
Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada satu hal yang meti di ingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukkan tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yang sahih dan benar.
Metode terbaik untuk memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method).Untuk memahami metode ini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan(knowledge).Ilmu adalah pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak mempelajari ihwal surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Demikian juga mengenai keadaan sebelum dan sesudah mati, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal seperti ini menjadi kajian agama. Namun demikian, pengetahuan agama yang telah tersusun secara sistematik, struktur, dan berdisiplin,ndapat juga dinyatakan sebagai ilmu agama.


Diantara metodi ialam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu caramemahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama agama yang mutlak benar. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agama pun mutlak. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Isla itu suatu saat mungkin dipandang cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches)ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah peneliti agama itu penelitian sosial, pnelitian filosof, atau penelitian legalistic.


E.Model-Model Penelitian Filsafah Islam
Di bawah ini disajikan berbagai model penelitian filsafat islam yang dilakukan para ahli dengan tujuan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi pengembangan filsafat islam selanjutnya.
Model M.Amin Abdullah
Dalam rangka penulisan desertasinya, M. Amin Abdullah mengambil bidang penelitiannya pada masalah filsafat islam. Hasil peneliannya ia tuangkan ke dalam bukunya yang berjudul The Idea Of University Ethical Norm In Ghazali an Kant. Penelitian ini mengambil metode penelitian kerpustakaan yang bercorak deskriftif, yaitu penelitian yaitu bahan-bahan kajiannya pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti sendiri (sumber primer), maupun sumber yang ditulis oleh orang lain mengenai tokoh yang ditelitinya itu (sumber sekunder). Bahan-bahan tersebut selanjutnya diteliti koetentikannya secara seksama; diklasifikasikan menurut variable yang ingin ditelitinya, dalam hal ini masalah etik; dibandingkan antara satu sumber dengan sumber lainnya.
Selanjutnya, dilihat dari segi pendekatan yang digunakan, M.Amin Abdullah kelihatannya mengambil pendekatan studi tokoh dengaan cara melakukan studi komparasi  antara pemikiran kedua tokoh tersebut (Al-Ghazali dan Emmanuel Kant), khususnya dalam bidang etika.
Model Otto Horrassowaitz
Dalam bukunya berjudul  History Of Muslim Philoshofy,telah melakkukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat islam yang berasal dari tokoh-tokoh filosof klasik, yaitu Al-Kindi, Al Razi, Al Farabi, Ibn Maskawih, Ibn Sina, Ibn Majjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd dan Nasit Al-Din Al-Tusi.
Model Ahmad Fuad Al-Nahlawi
Beliau termasuk pemikir modern dari mesir yang banyak mengkaji dan meneliti  bidang filsafah islam. Salah satu karyanya dalam bidang filsafat berjudul filsafat islam. Dalam bukunya ini ia selain menyajikan sekitar problem filsafat menyajikan tentang zaman penerjamahan, dan filsafat berkembang dikawasan Masyriqi dan Maghribi.
Di kawasan Masyriqil ia kemukakan nama Al Kindi, Al Farabi, dan Ibn Sina.Sedangkan di kawasan Maghribiia kemukakan Ibn Majjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd. Selain mengemukakan riwayat hidup serta karya dari masing-masing tokoh filosof tersebut, dikemukakan tentang jasa dari masing-masing filosof tersebut serta pemikirannya dalam bidang filsafat.
Dengan demikian, metode penelitian yang ditempuh Ahmad Fuad Al-Ahwani adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian dekriftif, kualitatif, sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran,yaitu pendekatan historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran filsafat dalam islam, sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh filosof menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya. 

BAB III
KESIMPULAN
Kata Arab ”falsafah” dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, ”philosophia”, yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata ”falsafah” itu di Indonesia-kan menjadi ”filsafat” atau, akhir-akhir ini, juga ”filosofi” (karena adanya pengaruh ucapan Inggris, ”philosophy”. Dalam ungkapan Arabnya yang lebih ”asli”, cabang ilmu tradisional Islam ini disebut ’’ulum al-hikmah atau secara singkat ”al-hikmah” (padanan kata Yunani ”Sophia”), yang artinya ialah ”kebijaksanaan” atau, lebih tepat lagi, ”kawicaksanaan” (Jawa) atau ”wisdom” (Inggris). Maka ”failasuf” (ambilan dari kata Yunani ”philosophos”, pelaku filsafat), disebut juga ”al-hakim” (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak ”al-hukama”.
Menurut Musa Asy’ari Filsafat Islam adalah adalah proses dialektika antara pemikiran filsafat Islam dengan perkembangan jaman secara terus menerus. Filsafat Islam adalah kegiatan pemikiran yang bercorak islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu corak pemikiran. Menurut Amin Abdullah filsafat Islam adalah rumusan pemikiran muslim yang ditempeli oleh konsep filsafat Yunani melalui proses panjang asimilasi dan akulturasi budaya. Sedangkan menurut Darmajati Supadjar filsafat Islam adalah filsafat tentang Islam. Jadi Islam yang menjadi objek penelaahan.


DAFTAR PUSTAKA
Supiana. 2012. Metedologi Studi Islam, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Abuddin, Nata. 1998.  Metedologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1992.  Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.
Babbie, Earl. 1986. The Practice Of Social Research, California: Wadasworth Piblishing Co.
Abdullah, Taufik dan M Rusli Karim. 1990.  Metedologi penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.

MSI (METODOLOGI STUDI TEOLOGI)

METODOLOGI STUDI TEOLOGI


Disusun Oleh :
M.Raihani
Muhammad Zein Aqly
Mahmud



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RASYIDIYAH KHALIDIYAH
AMUNTAI 
TAHUN AKADEMIK 2017/2018

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Bismillahirrahmanirrahim, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat Rahmat, Taufik, Hidayah serta Inayah Nyalah, kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata Kuliah Metodologi studi islam (MSI)
Makalah yang kami susun ini berjudul “Pendekatam Dalam Studi Agama” yang diharapkan dapat memberi pengetahuan yang lebih luas. Makalah ini memuat tentang Pendekatan di Dalam Memahami Agama
Seperti kata peribahasa “tak ada gading yang tak retak”, begitu pula dalam melaksanakan tugas ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, sehingga dengan kerendahan hati, kami sangat memerlukan kritik dan saran yang sekiranya dapat membangun kami di masa depan.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih atas kepercayaannya memberikan tugas ini kepada kami, selamat membaca dan semoga memberi manfaat kepada kita semua.
Amien Ya Rabbal ‘Alamien.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis,











DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1

BAB II : PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam
B. Pengertian Ilmu Kalam
C. Aliran & Doktrin Kalam
D. Model-model Penelitian Ilmu Kalam

BAB III : PENUTUP
A. simpulan
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain terlihat dari keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul di masyarakat. Keberuntungan atau kegagalan seseorang dalam kehidupannya sering dilihat dari sisi teologi. Dengan kata lain,berbagai masalah yang terjadi di msayarakat seringkali dilihat dari sudut teologi.
Hal tersebut di atas merupakan fenomena yang cukup menarik untuk diteliti lebih seksama. Itulah sebabnya telah banyak karya ilmiah yang ditulis para ahli dengan mengambil tema kajian masalah teologi,dan itu pula yang selanjutnya teologi menjadi salah satu bidang kajian Islam mulai dari tingkat pendidikan dasar,sampai dengan pendidikan tinggi.
Pada bagian ini,pembaca akan diajak untuk mengkaji secara seksama model penelitian Ilmu Kalam yang dilakukan oleh para ahli,baik penelitian pemula,maupun penelitian lanjutan yang bersifat deskriptif analitis,dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian Ilmu Kalam tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah perkembangan ilmu kalam
Dalam sejarahnya, benih ilmu kalam muncul sejak Nabi SAW masih hidup. fakta adanya sahabat yang bertanya kepada Nabi SAW tentang “al-qadar” sebuah tema yang pada masa selanjutnya menjadi topik pembicaraan kalam, merupakan argument yang memperkuat pernyataan ini (Al-Ghazali,1985:63). Pun jika kita sepakat dengan penjelasan Louis Gardet dan Anawati (dalam Machine, 1999) bahwa ilmu kalam tumbuh seiring dengan adanya kajian terhadap teks al-Qur’an. Namun, ilmu kalam mulai mempunyai bentuknya yang definiti sejak masa kebangunannya yang ditandai dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani.
Dalam perkembangannya, ilmu kalam merupakan respons terhadap diaspora Filsafat Yunani dan ajaran-ajaran diluar Islam itu. Dengan kata lain, ilmu kalam menjadi fakta yang menunjukkan adanya sense of social dari para pemikir Islam. Kala itu umat Islam sedang memerlukan sebuah rasionalisasi terhadap pokok-pokok akidah mereka di tengah ancaman dan tantangan pemikiran Yunani. Maka, maklum belaka, jika saat itu ilmu kalam berkutat hanya pada permasalahan-permasalahan transenden spekulatif (Abdullah ;1995:48).
Atas kerja keras dan tekad bulat rasulullah untuk menciptakan agama islam yang senantiasa membawa perdamaian antara sesama akhirnya dapat tercapai, pada masa pertumbuhan islam yang dipimpin rasulullah tidak ada
perpecahan sama sekali antar sesama, setelah wafatnya rasulullah ( 632M) dan semakin berkembangnya umat islam , akhirnya ummat islam mulai pecah belah. Awal mula terjadi perpecahan dikalangan islam pada masa kekhalifaan Ali Kwj yang dipicu oleh terbunuhnya ustman bin affan yang menjadi khalifah sebelumnya, Ali yang menjadi khalifah pada saat itu tidak mau melakukan Qishas atas terbunuhnya ustman. di karenakan masih belum jelas tentang siapa pelakunya, dari hal tersebut terjadilah peperangan dikalanagan ummat islam, yakni Ali dengan kalangan Aisyah yang disebut perang jamal yang akhirnya dimenangkan oleh sayydina Ali dan perang siffin atas pemberontaan Muawwiyah terhadap kekhalifaan Ali yang berakhir dangan perdamaian atas politik Muawwiyah yang mengangkat mushaf sebagai tanda perdamaian atas hukum Allah. Pada Akhirnya kedua-duanya ( Ali Dan Muawwiyah) diputuskan dengan Abirtase ( tahkim) dari pihak Ali di wakili oleh Abu musa Asy’ari dan dari pihak Muawwiyah di wakili oleh Amar bin Ash, atas siasat Amar bin Ash akhirnya Ali terjatuh dari kepemimpinan dengan keadaan terpaksa dan Muawwiyah tetap pada jabatannya, dimana dari kejadian tersebut yang menyebabkan kontroversi dikalangan umat islam yang tidak ada ujungnya. Dari sini timbulah bermacam-macam pengklaiman para firqah diantarannya ialah
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan utsman bin affan yang berbuntut pada penolakan muawiyah atas kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ketegangan tersebut mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali menerima tipu muslihat Amr bin Al ash, utusan dari pihak Muawiyah dalam tahkim. Kelompok yang awalnya berada dengan Ali menolak keputusan tahkim tersebut mereka menganggap Ali telah berbuat salah atas keputusan tersebut sehingga mereka meninggalkan barisannya, kelompok ini dikenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok syiah.
Harun lebih jauh melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul adalaah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini timbul berawal dari masalah politik yaitu ketika usman bin affan wafat terbunuh dalam suatu pemberontakan . sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun pencalonan Ali ini banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di Mekah. Tantangan kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus salah seorang keluarga dekat Usman bin Affan. Ia pun tidak mau pengangkatan Ali sebagai khalifah. Muawiyah menuntut untuk menghukum para pembunuh Usman bin Affan.
Hingga sampai terjadinya peristiwa tahkim yang membuat Muawiyah naik tahta secara illegal. Ketika Ali membiarkan hal itu terjadi sebagian tentara Ali tidak menyetujui hal tersebut.mereka memandang Ali telah berbuat salah dan berdosa dengan menerima keputusan (arbitrase) itu.
Akhirnya mereka menganggap Ali dan Muawiyah telah kafir. Dan hal itu berkembang bukan lagi menjadi masalah politik namun telah menjadi masalah teologi. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Khawarij.
























Pengertian Ilmu Kalam
Menurut Ibn Khaldun,Ilmu Kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan  yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah.

Selain itu,ada pula yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan denagn bukti-bukti yang meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang  cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk agama dan paling utama bahkan paling mulia,karena berkaitan dengan zat Allah,zat para Rasul-Nya.

Dalam daripada itu,Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat  yang mesti tidak ada padanya serta sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.

Berdasarkan pengertian tersebut tampak terlihat bahwa teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu.

Namun dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Teologi juga berbicara tentang berbagai amsalah yang ber kaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa pda semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah  yakni Al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Teologi terkadang dinamai pula Ilmu Tauhid,Ilmu Ushuluddin, Ilmu ‘Aqaid, dan Ilmu Ketuhanan. Dinamai Ilmu Tauhid,karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu tuhan, yaitu Allah Swt. Selanjutnya dinamai Ilmu Ushuluddin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan. Dinamai pula ilmu ‘Aqaid, karena denagn ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkandirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan.

Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya yang demikian itu, Teologi, tidak bisa tidak,pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan cirri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat mengemukakan teologi Islam, teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya.







Aliran & Doktrin kalam
Khawarij
Khawarij pada awalnya adalah kelompok politik yang membelot dari Ali karena
merasa kecewa terhadap hasil arbitrase. Kemudian mereka menjadi kelompok aliran
teologi karena pembicaraannya telah memasuki wilayah teologi. Doktrin pokok
kelompok ini adalah :
a. Mereka menafsirkan al Quran dengan sangat literal dan dengan pemahaman
sederhana serta kaku. Hal ini disebabkan kebanyakan mereka orang Arab Baduy.

b. Orang yang melakukan arbitrase (Ali,Muawiyah,Musa al Asy’ari,Amr bin Ash)
dan yang menyetujui hal itu telah melakukan dosa besar dan kafir karena tidak
melaksanakan hukum Allah. (Harun Nasution,1986:12-13)
Menurut Harun Nasution (1986:15-19) aliran Khawarij ini kemudian terpecah
menjadi beberapa kelompok antara lain :
1. Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan khawarij asli yang pada awalnya mengikuti
Ali.Bagi mereka, Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al Asy’ari dan semua
orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.
2. Al-Azariqah
Nama al-Azariqah diambil dari Nafi ibn Azraq. Pengikutnya berjumlah lebih
dari 20 ribu orang. Sub-sekte ini lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak
lagi memakai term kafir, tetapi musyrik. Dalam Islam syirik merupakan dosa yang
terbesar. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan
mereka. Bahkan yang sefaham dengan mereka pun kalau tidak mau berhijrah
dianggap kafir.
3. Al-Najdat
Aliran ini diambil dari nama Najdah ibn Amir al Hanafi dari Yamamah. Pada
awalnya mereka ingin menggabungkan diri dengan al-Azariqah. Pada saat itu
tengah terjadi pertentangan diantara pengikut Nafi diantaranya Abu Fudaik, Rasyid
al-Tawil dan Atiah al-Hanafi yang tidak menyetujui bahwa orang Azraqi yang tidak
mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Mereka juga tidak
setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang Islam
yang tidak sepaham dengan mereka.
Najdah dan Abu Fudaik akhirnya bergabung dan mengangkat Najdah sebagai
imam baru mereka. Menurut Najdah, bahwa orang yang berdosa besar yang
menjadi kafir dan kekal di neraka adalah orang Islam yang tak sefaham dengan
golonngannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan
mendapatkan siksaan, tetapi bukan di neraka, dan kemudian akan masuk surga.
Dosa kecil akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan dapat
menjadi musyrik.
4. Al-Ajaridah
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut faham mereka berhijrah
bukanlah merupakan kewajiban tetapi hanya kebajikan. Kaum al-Ajaridah boleh
tinggal di luar daerah kekuasaan dan mereka tidak menjadi kafir. Di samping itu
harta yang boleh dijadikan harta rampasan perang adalah harta orang yang telah
mati terbunuh. Mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dari Alquran
karena mengandung cinta .
5. Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Ziad ibn al-Asfar. Faham mereka dekat dengan
faham al-Azariqah. Mereka termasuk golongan ekstrem. Mereka berpendapat
bahwa orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak kafir; anak-anak kaum musyrik
tidak boleh dibunuh; Tidak semua yang berdosa besar musyrik; daerah yang tidak
sepaham dengan mereka bukan dar al harb; kufur dibagi dua yaitu kufur bin inkar
al ni’mah dan kufur bi inkar al rububiyah yaitu mengingkari Tuhan.
6. Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat. Nama golongan ini
diambil dari nama Abdullah ibn al-Ibad. Menurut mereka orang Islam yang tak
sepaham dengan mereka bukanlah muysrik tetapi kafir; daerah yang tak sefaham
dengan mereka kecuali camp pemerintah adalah dar tawhid; Orang Islam yang
berdosa besar adalah muwahhid-yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
Dan kalaupun kafir hanya kafir bi al-ni’mah bukan kafir al-millah yaitu kafir agama;
Yang boleh dirampas hanyalah kuda dan senjata.
2. Murjiah
Murjiah adalah kelompok teologi yang lebih memilih tidak ikut larut dalam politik atau pertentangan muslim-kafir (Harun,1986:22).Aliran ini terbagi dua yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem. Menurut golongan moderat,Orang yang berdosa besar tetap muslim dan tidak kafir tetapi akan dihukum di neraka sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya. Yang termasuk tokoh moderat ini al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf. Yang kedua adalah golongan ektrem yaitu al-Jahmiah.menurut golongan ekstrim mengatakan bahwa orang-orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang yang demikian pun tidak menjadi kafir meskipun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi, dan kemudian mati. Orang demikian
bagi Allah tetap merupaklan orang mukmin (Harun Nasution,1986:25-26).

3. Syi”ah
Syi’ah adalah kelompok teologi yang mendukung Ali secara politik dan mengakui
Ali sebagai imam dan mengagungkan ahlul bait. Kata syi’ah bermakna ‘pengikut’ atau
‘penolong’. Istilah ini dipungut dari peristiwa masa lalu yaitu ketika khalifah ketiga,
Usman bin Affan terbunuh yang mengakibatkan kaum muslimin terbagi menjadi
dua golongan yaitu syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah (Asy-Syak’ah,1994:133). Adapun
doktrin atau pemikiran Syi’ah sebagai berikut :
1. Itrah (para pengganti nabi yang suci)
2. Ishmah (kesucian para imam dari dosa)
3. Wishayah (pengangkatan whasi dan wali oleh nabi)
4. Wilayah (menerima kepemimpinan seorang imam)
5. Imamah (kepemimpinan orang-orang shaleh)
6. ‘Adil (keadilan dalam semua tindakan Allah)
7. Taqiyyah (menyembunyikan, dan berhati-hati dalam masalah agama karena
larangan rezim penguasa tirani)
8. Sunnah (praktik nabi suci)
9. Ghayyah (gaibnya imam mahdi)
10. Syafa’ah (pertolongan dari salah seorang 14 manusia suci pada hari kiamat)
11. Ijtihad (integrasi fatwa-fatwa hukum agama dengan evolusi dan perubahan dalam
kondisi kehidupan manusia)
12. Do’a (doa dan permohonan)
13. Taqlid (Mengikuti ulama dalam masalah-masalah teknis keagamaan) (Ali
Syari’ati:1995:60-61)
Menurut Syak’ah (1994:139) firqah Syi’ah telah terpecah dan terbagi-bagi menjadi
sekian banyak kelompok. Kelompok tersebut antara lain:
1. Sabaiyah
Firqah Syi’ah ini adalah yang pertama menuhankan Ali bin Abi Thalib. Firqah ini
dipimpin oleh Abdullah bin Saba.
2. Tawabun
Kelompok ini dipimpin oleh Sulaiman bin Surd al-Khuza’i seorang sahabat nabi
yang mulia. Kelompok ini bermotif rasa simpati danungkapan penyesalan karena
mereka merasa bersalah atas meninggalnya Husein.
3. Al-Kisaniyah
Kelompok ini berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan hak Muhammad
bin Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat demikian karena dialah yang membawa
bendera dalam pertempuran Jamal.
4. Al-Mughiriyyah
Kelompok ini termasuk kelompok yang paling meyimpang karena meyakini
kedatangan Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Ali yang dikenal dengan
Muhammad yang berjiwa suci (an-nafsu azzakiyah).

Qadariyah
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri.
Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat
mutlak. Disini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan
Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan
perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur
hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan? (Harun Nasution,1986:31).
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kaum Qadariah berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian
nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya
faham ini dikenal dengan nama free will dan free act. (Harun Nasution,1986:31)
5. Jabariyyah
Kaum Jabariyyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham
ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris faham ini
disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh kada dan kadar Tuhan. (Harun Nasution,1986:31)

6. Mu’tazilah
Aliran ini muncul pada awal pemerintahan Bani Umayyah (40-132 H/660-750)
dan tampak sekali keaktifannya pada masa pemerintahan khalifah Hisyam dan para
penggantinya (105-131 H/723-748 M) (Brill’s,1987:788).
Bagaimana awal perkembangan Mu’tazilah, dan mengapa firqah ini dinamakan
Mu’tazilah? Sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak dapat dilepaskan dari nama
washil bin Atho. Dialah pemimpin pertama Mu’tazilah. Washil adalah salah seorang
murid Hasan Bashri. Ia selalu menghadiri halaqah pengajian yang diselenggarakan
Hasan Bashri di sebuah masjid di Bashrah. Suatu ketika, salah seorang murid Hasan
Bashri menanyakan tentang pandangan agama terhadap seseorang yang melakukan
dosa besar. Hasan Bashri memberi jawaban bahwa pelaku dosa besar tersebut
dikategorikan sebagai munafiq. Washil yang saat itu hadir merasa tidak puas dengan
jawaban tersebut. Ia pun menyanggah dan mengemukakan pendapatnya, bahwa orang
yang melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang mukmin secara mutlak, dan
bukan pula kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar tersebut di antara dua kedudukan
itu. (Asy-Syak’ah, 1994:310)
Pendapat lain mengatakan, bahwa nama Mu’tazilah diambil dari sifat orang-
orang yang memisahkan diri dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui
ketaqwaan, zuhud, kesederhanaan, serta merasa puas dengan apa yang ada. Pendapat
ketiga mengatakan, nama itu diambil dari pernyataan Mu’tazilah, bahwa orang
yang melakukan dosa besar adalah memisahkannya antara mukmin dan kafir. (Asy-
Syak’ah,1994:310)
Pendapat keempat mengatakan, bahwa sikap I’tizal (memisahkan diri) telah ada
sejak lama sebelum masa Hasan Bashri. Mu’tazilah adalah mereka yang tidak mau
melibatkan diri dalam Perang Jamal dan perang Shiffin. Ketidakterlibatan mereka
dalam dua perang tersebut adalah karena mereka belum dapat mengetahui dengan
jelas, mana yang benar dan mana yang salah diantara dua pihak yang bertikai itu.
Dalam hal ini mereka bersandar pada firman Allah:
“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan
yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah; Jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujarat 9)
Karena mereka tidak dapat mengetahui dengan pasti antara yang benar dan yang
salah, maka mereka bersikap netral.
Pendapat kelima mengatakan, bahwa mazhab I’tizal adalah merupakan mazhab
dari segi akidah dan pemikiran yang dikembangkan oleh Washil bin Atho dan Amr bin
Ubaid. Hal ini karena Washil telah belajar dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib , dan
Muhammad belajar dari ayahnya. Sebagai penguat pendapat ini, Zaidiyah, salah satu
firqah syi’ah, menyepakati semua ajaran akidah Mu’tazilah, kecuali dalam masalah
imamah. Di samping itu, Zaid sendiri adalah murid Washil bin Atho. Pada prinsipnya,
secara umum Syi’ah cenderung kepada Mu’tazilah dalam hal aqidah,dan banyak
memiliki kesamaan dengan mereka dalam hal ushul fiqih. (Asy-Syak’ah,1994:311)
Pancasila Mu’tazilah adalah ;1)Tauhid, yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang Maha
Esa Tidak ada yang menyerupainya, 2) Al Adl, 3)al-Wa’du wal Waid 4)Manjilah bainal
Manjilatain 5) Amr ma’ruf nahi munkar.

7. Ahlu Sunnah wal Jamaah
Aliran ini dipelopori oleh Abul Hasan bin Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir pada tahu 260 Hijriah dan wafat pada tahun 324 Hijriyah. Ketika paham Jabariyah mengatakan
bahwa Allah-lah pencipta segala perilaku manusia, dan Mu’tazilah berpendapat bahwa
manusia sendiri yang menciptakannya, maka al-Asy’ari atau Ahli Sunnah mengatakan
bahwa semua perilaku manusia Allah-lah yang menciptakannya, sedangkan manusia
mengamalkannya sesuai dengan kesangupannya (Asy-Syak’ah:1994:385).
Mengenai al-Qur’an apakah hadits atau qadim, Asy’ari berpendapat bahwa
“Hendaklah dapat dibedakan antara kalamullah dengan zat-Nya yang berarti qadim,
dengan wujud al-Qur’an yang ada diantara kita diturunkan dalam kurun waktu” (Asy-
Syak’ah,1994:385). Secara popular doktrin mereka antara lain:
a. Mereka lebih mendahulukan wahyu daripada akal.
b. Tuhan bersifat, Alquran adalah kalamullah dan qadim.
c. Tuhan dapat dilihat diakhirat oleh mata telanjang.
d. Antropromorfisme.
e. Orang berdosa besar masih mukmin hanya saja dia menjadi fasiq.











Model-model Penelitian Ilmu Kalam

Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi kedalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan pemula; dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-quran dan hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan model penelitian kedua sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.

Penelitian pemula
Melalui penelitian model pertama dapat kita jumpai sejumlah referensi yang telah disusn oleh para ulama selaku peneliti pertama yang sifat dan keadaanya telah disebutkan diatas. Dalam kaitan ini kita jumpai beberapa karya hasil penelitian pemula sebagai berikut.

Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-maturidy Al-Samarqandy
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul kitab al-Taubid. Buku ini telah di tahkik oleh fathullah khalif, megister dalam bidang sastra pada Universitas Iskandariyah dan Doktor filsafat pada Universitas Cambridge. Dalam buku tersebut selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari Al-maturidy, juga telah dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit di bidang ilmu kalam. Di antaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriman, seta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama’ (dalil nakli) dan dalil akli; pembahasan tentang alam, antrophormisme atau faham jisim pada tuhan, sifat-sifat allah,perbedaan faham diantara manusia tentang cara allah menciptakan makhluk, perbuatan makhluk, faham qadariyah; qada dan qadar; masalah keislaman; serta tidak adanya dispensasi dalam hal islam dan iman.

Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari
Al-Imam Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang wafat pada tahun 330 hijriyah telah menulis buku berjudul Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musballin. Buku ini telah ditahkik oleh muhammad muhyiddin ‘abd al-hamid, sebanyak dua juz. Juz pertama setebal 351 halaman, sedangkan juz keduanya 279 halaman. Seseorang yang ingin mengetahui secara mendalam tentang teologi ahlu sunnah mau tidak mau harus mempelajari buku ini, dan buku karangan al-Maturidy sebagaiman tersebut diatas. Namun, kita tidak tahu persis apakah buku ini dikaji di pesantren-pesantren atau tidak. Yang penulis ketahui, para santri mempelajari pemikiran teologi ahli sunnah dari sumber kedua atau ketiga.

Sebagaimana halnya Al-maturidy, Al-asy’ari juga dalam bukunya tersebut membahas masalah-masalah yang rumit dan mendetail tentang teologi. Pada juz pertama buku tersebut antara lain dibahas  mengenai permulaan timbulnya masalah perbedaan pendapat dikalangan umat islam yang disebabkan karena perbedaan dalam bidang kepemikpinan (imamah dan politik) yang dimulai dari zaman usman bin ‘affan; pembahasan tentang aliran-aliran induk  (ummahat al firq) yang jumlahnya mencapai sepuluh. Yang pertama adalah aliran syiah yang jumlahnya mencapai lima belas aliran yaitu al-bayaniah, al-jinabiyah, al-huriyah, al-mughayirah,al-manshuriyah, al-khitbabiyah, al-ma’mariyah, al-baghiziyah ,al-amiriyah, al-mufdhillah,al-bululiyah, al-qailunan ilahiyatu ‘ali al-rapidlah, al-sabi’iyah, al-mufawwidah dan al-imamiyah ini dibagi lagi menjadi dua puluh empat golongan.

Selanjutnya dalam bukunya tersebut dibahas pula tentang perbedaan pendapat disekitar panggung arasy (bamalatul arsy), kebolehan bagi allah dalam menciptakan alam, tentang alquran, perbuatan hamba, kehendak allah kesanggupan manusia, perbuatan manusia dan binatang, kelahiran, kembalinya kedunia sebelum datangnya hari kiamat, masalah imamah  (kepemimpinan), masalah kerasulan, masalah keimanan, janji baik dan buruk, siksaan bagi anak kecil, tentang tahkim (arbitrase), hakekat manusia, aliran khawarij dengan berbagai sektenya, dan masih banyak lagi masalah rumit yang ada hakekatnya penulis belum banyak dikaji oleh kalangan yang mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ariyah.

Model A-Ghazali
Imam Al-Ghazali yang pernah belajar pada haramain sebagaimana disebutkan diatas, dan dikenal sebagai hujjatul islam telah pula menulis buku berjudul Al-Iqtishad fi al-i’tiqad, dan telah diterbitkan pada tahun 1962 di Mesir. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan bahwa ilmu sangat diperlukan dalam memahami  agama, tentang perlunya ilmu sebagai pardlu kifayah, pembahasan tentang zat allah, tentang qadimnya alam, tentang bahwa pencipta alam  tidak memiliki jisim, karena jisim memerlukan pada materi dan bentuk; dan penerapan tentang kenabian Muhammad Saw.

Penelitian lanjutan
Selain penelitian yang bersifat pemula sebagaimana tersebut diatas, dalam bidang ilmu kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan. Yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan oleh para peneliti pemula. Pada penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba melakukan deskripsi, analisis, klasifikasi, dan generalasi. Berbagai hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebagai berikut.

Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap aliran dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Mazahib al-islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat dan penelitiannya ini di sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi. Selanjutnya dikemukakan pula tentang berbagai aliran dalam mazhab syi’ah yang mencapai dua belas golongan, diantaranya Al-Sabaiyah, Al-Ghurabiyah, golongan yang keluar dari syi’ah, Al-Kisaniyah, Al-Zaidiyah, Itsna Asyariyah, Al-Imamiyah, Isma’iliyah. Selanjutnya dikemukakan pula aliran khawarij dengan berbagai sektenya yang jumlahnya mencapai enam aliran; Jabariyah dan Qadariyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah lengkap dengan berbagai pandangan teologinya.

Model Ali Mushthafa Al-Ghurabi
Ali Mushthafa Al-Ghurabi, sebagaimana Abu Zahrah tersebut, Memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang terdapat dalam islam serta pertumbuhan ilmu kalam dikalangan masyarakat islam. Hasil penelitiannya itu, ia tuang dalam karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-islamiyah wa Nasy’atu ilmu al-kalam ‘’ind al-muslimin. Dalam hasil penelitiannya itu mengungkapakan antara lain sejarah pertumbuhan ilmu kalam, keadaan akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman Khulafaur Rasyidin, zaman Bani Umayyah dengan berbagai permasalahan teologi yang muncul pada setiap zaman tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aliran mu’tazilah lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikiran teologinya; pembahasan tentang aliran Khawarij lengkap dengan tokoh dan pemikirannya.

Model Harun Nasution
Harun Nasution yang dikenal sebagai guru besar Filsafat dan teologi banyak mencurahkan perhatiannya pada penelitian di bidang pemikiran teologi Islam (Ilmu Kalam). Salah satu hasil penelitiannya yang selanjutnya dituangkan dalam buku adalah buku fi ilm al-kalam (Teologi Islam). Dalam buku tersebut selain dikemukakan tentang sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam islam, juga dikemukakan tentang berbagai aliran teologi islam lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya. Setelah itu harun nasution melakukan analisa dan perbandingan masalah akal dn wahyu, free will dan predesnation, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat tuhan dan konsep iman.

Dari berbagai penelitian yang sifatnya lanjutan tersebut dapat diketahui model dan pendekatan penelitian yang dilakukan dengan mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut. Pertama, penelitian yang dilakukan para peneliti lanjutan tersebut secara keseluruhan termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang mendasarkan pada data yang terdapat dalam berbagai sumber rujukan dibidang tologi islam. Kedua, secara keseluruhan  penelitiannya bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang tekanannya pada kesungguhan dalam mendeskripsikan data selengkap mungkin. Ketiga, dari segi pendekatan yang digunakan secara keseluruhan menggunakan pendekatan historis, yakni mengkaji masalah teologi tersebut berdasarkan data sejarah yang ada dan juga melihatnya sesuai dengan konteks waktu yang bersangkutan. Ke-empat, dalam analisisnya selain menggunakan analisis dktrin juga analisis perbandingan, yaitu dengan mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran sedemikian rupa,dan setelah itu barulah dilakukan perbandingan.

Penelitian diatas jelas bermanfaat dalam rangka memberikan informasi yang mendalam dan komprehensif tentang berbagai aliran teologi islam. Namun penelitian tersebut kelihatannya belum membantu orang yang membacanya untuk dapat mengembangkan ilmu tersebut, karena yang ada hanyalah informasi tentang teologi, dan tidak dikemukakan faktor-faktor yang melatar belakangi mengapa para ulama dijaman dahulu mampu meresponi berbagai masalah sosial kemasyarakatan melalui pendekatan teologis. Karenanya metode dan pendekatan dalam penelitian teologi ini perlu dikembangkan lebih lanjut.


                                   BAB III
                    SIMPULAN
Menurut Ibn Khaldun,Ilmu Kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan  yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah. Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi kedalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan pemula; dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-quran dan hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan model penelitian kedua sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama. Namun dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Teologi juga berbicara tentang berbagai amsalah yang ber kaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa pda semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah  yakni Al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya









DAFTAR PUSTAKA

A.Hanafi, Teologi islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan bintang, 1979), cet. III, hlm.10

Syaikh muhammad abduh, Risalah tauhid, (Jakarta: Bulan bintang, 1975), cet. I, hlm.21

Nasyr, sayyid Husein, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Bandung: Mizan 1995), cet II.

Hujjatul Islam Al-Imam Muhammad Abi Hamid Al-Ghazaly, Al-Iqitishad fi al-‘Itiqad, (Mesir: Maktabah Al-Halaby), 1962

Abu Zahrah, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), cet. I.

Ghuraby, Ali Musthafa, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah Wa Nasy’atu Ilmu Al-Kalam ‘Ind Al-Muslimin, (Mesir: Makbatah Wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih Wa Auladuhu, T.T.).

Nasution Harun , islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid 1,(Jakarta: UI Press, 1979).